Kekerasan di Palestina Telah Berubah Menjadi Pertunjukan Semiotik

Setiap harinya, pekerjaan mengharuskan saya untuk bertemu dan mewawancarai banyak orang. Dari kalangan birokrat pemerintahan, pelaku usaha, pekerja, hingga ekonom-ekonom cemerlang di Semarang. Tapi rutinitas itu —sebagaimana rutinitas lainnya— pada akhirnya terasa menjemukan juga.

Setelah mengikuti Bootcamp AI untuk Jurnalis IDCamp 2025 yang dilaksanakan Indosat bersama Dicoding pada April lalu, saya jadi getol mengulik teknologi kecerdasan buatan. Sampai muncul sebuah ide untuk melakukan wawancara dengan sosok-sosok yang unik, dan rasa-rasanya tidak mungkin bisa saya temui dan wawancarai langsung.

Ini adalah hasil wawancara imajiner saya dengan Jean Baudrillard, seorang filsuf asal Perancis yang telah wafat pada 2007 silam. Semasa kuliah dulu, gagasan-gagasan Baudrillard cukup banyak memengaruhi saya.

Salah satu cerita yang saya ingat betul adalah ketika Baudrillard menyebut Perang Teluk “tidak benar-benar terjadi” dalam tulisan yang dipublikasikannya di The Guardian pada tahun 1991. Konteks cerita ini menjadi titik mula bagi wawancara imajiner yang saya lakukan. Bagaimana jika Baudrillard masih hidup dan menyaksikan kebengisan Israel di Palestina? Apakah semua itu “tidak benar-benar terjadi” seperti Perang Teluk?

Wawancara imajiner ini dilakukan dengan menggabungkan respon dari beberapa agen kecerdasan buatan yang dapat diakses secara gratis di Internet. Respon-respon tadi dikurasi dan disunting demi kepentingan redaksional, supaya enak dibaca dan terkesan manusiawi. Walaupun pada akhirnya, sebagai manusia yang waras, akan mudah untuk mendeteksi bahwa “jawaban” itu adalah rekaan mesin.

Setelah tulisan ini tayang, mungkin, saya akan membuat sebuah analisis dan refleksi atas proses pembuatan wawancara imajiner ini. Dengan memberikan perbandingan respon antar agen kecerdasarn buatan, mungkin. Tetapi, rasa-rasanya saya lebih ingin menulis tentang geger yang dibuat Ferry Irwandi soal pembubaran jurusan filsafat.

Pada akhirnya, sekarang, inilah hasil eksperimen saya dalam melakukan wawancara imajiner. Selamat membaca!


Bagaimana sesungguhnya Anda melihat konflik yang terus berkecamuk di Timur Tengah, mulai dari Israel dengan Palestina, Lebanon, Suriah, hingga yang terbaru dengan Iran?

Konflik di Timur Tengah yang kita saksikan telah jauh melampaui sekadar pertikaian teritorial atau ideologis. Saya melihatnya telah bertransformasi menjadi sebuah ‘simulakra’—sebuah tiruan tanpa referensi, di mana realitas kekerasan telah dibongkar dan disusun ulang sebagai pertunjukan tanpa akhir di ruang hiperrealitas media dan politik.

Ini bukan lagi perang konvensional, melainkan sebuah spektakel, sebuah sandiwara berulang di mana setiap serangan, setiap korban, setiap pernyataan politik, dengan cepat diubah menjadi citra digital, menjadi sign yang dikonsumsi sebagai konten untuk memperkuat narasi dominasi atau perlawanan. Media dan teknologi komunikasi menjadi arsitek utama distorsi ini; penderitaan nyata menjadi komoditas tontonan, sementara kebenaran direduksi menjadi pertarungan signifier di ruang maya. Ini adalah ritual kekerasan yang mempertahankan dirinya demi kepentingan sistem global, menguntungkan industri senjata, politik identitas, dan ekonomi ketakutan. Bahkan upaya perdamaian sering terjebak dalam logika yang sama, menjadi bagian dari narasi yang justru mengabadikan permusuhan. Yang tersisa adalah pertanyaan etis yang mendalam: bagaimana kita bisa merespons penderitaan dalam dunia yang telah membius kita dengan banjir citra, ketika batas antara realitas dan simulasi semakin kabur?

Jika konflik ini menjadi semacam ‘konten’, bisakah Anda berikan contoh aktual bagaimana fenomena ini termanifestasi di lapangan, di tengah-tengah peristiwa yang sesungguhnya?

Tentu. Coba amati bagaimana setiap peristiwa di Gaza, dari serangan udara hingga tangisan anak-anak, dengan kecepatan luar biasa diunggah ke platform seperti X atau TikTok. Ini bukan lagi sekadar pelaporan, tetapi juga “produksi konten” itu sendiri, sebuah proses semiotis di mana citra direduksi menjadi sign yang diperdagangkan, dikemas untuk konsumsi instan.

Narasi pro-Palestina menekankan penderitaan sipil dan pelanggaran hak asasi, seringkali menggunakan video yang memilukan, menciptakan ikon penderitaan yang memicu empati. Sedangkan narasi pro-Israel fokus pada justifikasi keamanan dan ancaman terorisme, seringkali menampilkan rekaman serangan roket atau tindakan militer defensif, menciptakan sign pertahanan yang esensial. Kedua belah pihak secara aktif mengelola citra ini, memilih visual dan sudut pandang yang paling mendukung narasi mereka, secara efektif mengubah tragedi nyata menjadi ‘konten’ yang bersaing sengit untuk perhatian global. Ini dengan jelas memperlihatkan bagaimana perang kini adalah pertarungan semiotika murni, di mana tanda-tanda dan simbol, seperti gambar dan tagar, mendominasi realitas kompleks di lapangan, membentuk ‘metanarasi’ yang kini saling bersaing dan berbenturan.

Bagaimana perkembangan teknologi tersebut mengubah persepsi kita dalam melihat perang ini secara lebih luas? Apakah ada pergeseran fundamental?

Perkembangan media sosial dan kecerdasan buatan memang telah mengubah konflik Timur Tengah dari pertempuran fisik menjadi pertarungan persepsi yang terdistorsi, di mana realitas itu sendiri dikalahkan oleh algoritma. Kita tidak lagi menyaksikan perang itu sendiri, melainkan simulasinya—sebuah arus konten yang dikurasi secara presisi untuk memicu engagement, bukan pemahaman mendalam.

Media sosial telah secara radikal menghancurkan batas antara saksi dan partisipan; setiap orang kini bisa menjadi penyiar, namun sekaligus menjadi target manipulasi yang rentan. Gambar asli, deepfake yang semakin canggih, dan narasi yang dikemas oleh bot bersaing ketat, menciptakan hiperrealitas di mana kebenaran ditentukan oleh viralitas, bukan fakta yang sebenarnya.

Ini adalah krisis representasi yang akut, di mana sign kehilangan referensi aslinya, terlepas dari realitas yang seharusnya diwakilinya. AI mempercepat distorsi ini secara eksponensial: ia menganalisis data untuk menyusun narasi yang dipersonalisasi, memperdalam echo chamber kita, dan bahkan menciptakan berita palsu yang nyaris tak terbantahkan, yang pada akhirnya memperkuat ‘rezim kebenaran’ yang semakin terfragmentasi.

Bisakah Anda berikan contoh konkret tentang bagaimana kecanggihan AI ini memanipulasi informasi dalam konteks konflik ini? Mengingat betapa sulitnya kita membedakan yang asli dari yang palsu sekarang.

Tentu. Ingat video deepfake yang menampilkan politikus berbicara aneh dengan logat yang tidak biasa, atau rekaman suara yang meniru pemimpin negara menyebarkan informasi palsu? Itu adalah contoh langsung bagaimana AI menciptakan ‘realitas’ alternatif, memproduksi simulacra yang semakin jauh dari aslinya, sampai pada titik di mana yang asli dan palsu tak lagi bisa dibedakan.

Dalam konteks konflik, kampanye disinformasi berbasis AI dapat membanjiri media sosial dengan konten palsu yang secara instan memicu kemarahan publik, membenarkan tindakan kekerasan, atau memutarbalikkan fakta lapangan dengan sangat meyakinkan. Dampaknya? Empati kita kini menjadi estetika—penderitaan direduksi menjadi konten yang di-‘klik’, di-‘bagikan’, lalu dengan cepat dilupakan.

Ini adalah dehumanisasi melalui representasi digital. Perang tidak lagi tentang tanah atau ideologi, melainkan siapa yang paling efektif menguasai persepsi dan produksi sign. Kekerasan fisik terus berlanjut, tetapi maknanya tenggelam dalam banjir noise digital, di mana fakta dan fiksi tak lagi terbedakan. Kita kini hidup di dunia di mana perang adalah produk algoritmik—sebuah pertunjukan interaktif yang menjebak kita dalam labirin persepsi, sebuah medan semiotika yang terus bergeser, tanpa titik henti.

Melihat skala konflik global yang memanas, banyak yang khawatir bahwa perang ini akan memicu Perang Dunia III. Bagaimana pandangan Anda mengenai kekhawatiran yang meluas ini? Apakah itu berdasar?

Kekhawatiran akan Perang Dunia III ini, menurut saya, lebih mencerminkan ketakutan kita akan masa lalu—terperangkap dalam narasi besar sejarah yang mungkin sudah usang, sebuah ‘metanarasi’ yang kini tak relevan—daripada memahami realitas konflik kontemporer. Eskalasi di Timur Tengah—meskipun melibatkan kekuatan global—tidak lagi mengikuti logika perang konvensional abad ke-20. Sebaliknya, kita menyaksikan bentuk baru perang asimetris: pertempuran proksi, perang informasi, dan sanksi ekonomi, yang semuanya dirancang untuk menghindari konfrontasi langsung.

Perang Dunia III dalam imajinasi populer—invasi masif, nuklir, garis depan yang jelas—adalah konsep yang sudah ketinggalan zaman. Ancaman sesungguhnya adalah perang yang terfragmentasi—konflik lokal dengan dampak global yang diperkuat melalui mediatisasi dan algoritma. Media sosial dan AI mengubah kekerasan menjadi spektakel yang dikonsumsi secara real-time, di mana ketegangan terus dipelihara tetapi jarang mencapai titik didih.

Negara-negara adidaya lebih memilih simulasi perang. Perang Dunia III tidak akan datang sebagai ledakan dahsyat, melainkan sebagai kondisi permanen, sebuah ketegangan semiotis yang tak berkesudahan, di mana ancaman itu sendiri menjadi sign pengendali.

Jadi, jika demikian, bentuk konflik antara Iran dan Israel baru-baru ini, dengan serangan rudal dan drone yang terjadi, menurut Anda itu bukan pertanda Perang Dunia III, melainkan lebih ke arah ‘simulasi perang’ seperti yang Anda jelaskan?

Tepat sekali. Ketegangan antara Iran dan Israel menunjukkan pola ini dengan sangat jelas. Alih-alih perang total yang destruktif, kita melihat serangkaian serangan siber, sabotase, pembunuhan ilmuwan, dan serangan proksi yang terkalibrasi. Respons Iran terhadap serangan Israel di konsulatnya di Suriah adalah serangan rudal dan drone langsung ke Israel, namun dengan ‘peringatan’ yang efektif memungkinkan Israel dan sekutunya untuk mengintersepsi sebagian besar proyektil.

Ini bukanlah upaya untuk menghancurkan, melainkan untuk “mengirim pesan”—sebuah tindakan semiotis unjuk kapabilitas, sekaligus menjaga batas agar tidak terjadi eskalasi penuh. Ini adalah “perang terbatas”, sebuah simulasi yang memamerkan kekuatan tanpa memicu konflik global skala penuh. Namun, risiko tetap ada. Namun yang lebih mungkin adalah dunia akan terjebak dalam status quo kekerasan—perang tanpa kemenangan, perdamaian tanpa resolusi—di mana ketakutan akan kehancuran justru menjadi alat pengendali yang lebih efektif daripada kehancuran itu sendiri, menjadi sign yang terus-menerus mengancam dan memelihara ketegangan.

Melihat tren perang dan kontak senjata yang tidak hanya terjadi di Timur Tengah, tapi juga di Eropa bahkan Asia, apakah fenomena ini bisa dikatakan sebagai ekses dari pola komunikasi modern kita, yang begitu didominasi oleh teknologi dan kecepatan informasi?

Tepat, konflik bersenjata yang kini merebak dari Timur Tengah, melintasi Eropa, hingga ke Asia, adalah cerminan langsung dari pola komunikasi modern kita yang terfragmentasi dan hiper-akseleratif. Kekerasan telah berubah menjadi spektakel—pertunjukan yang dirancang khusus untuk konsumsi algoritmik, di mana nilai strategisnya terletak pada viralitas, bukan hanya pada dampak fisiknya. Ini adalah transformasi semiotika dari tindakan ke pertunjukan, di mana sign kekerasan menjadi yang utama.

Media sosial dan AI telah menciptakan lingkungan di mana perang tidak lagi diukur dari wilayah yang berhasil direbut, melainkan dari dominasi narasi. Setiap serangan segera diubah menjadi ‘konten’ yang saling berebut perhatian, diputarbalikkan oleh bot, diperkuat oleh echo chamber, dan dikonsumsi sebagai hiburan kekerasan yang membuat kita mati rasa.

Bisakah Anda berikan contoh bagaimana perang dalam arti konvensional telah beralih menjadi ‘perang tanda-tanda’ di era digital?

Perang Rusia-Ukraina adalah contoh sempurna dari ‘perang tanda-tanda’ ini. Di satu sisi, Ukraina memanfaatkan media sosial secara masif untuk memobilisasi dukungan internasional dengan video-video heroik dan tangisan warga sipil, menciptakan narasi perlawanan David melawan Goliat. Di sisi lain, Rusia menggunakan saluran berita pemerintah dan jaringan bot untuk menyebarkan disinformasi tentang “operasi militer khusus” dan propaganda anti-Barat.

Kedua belah pihak tidak hanya bertempur secara fisik, tetapi juga di medan informasi, di mana video pendek, meme, dan narasi yang didukung algoritma menjadi senjata ampuh dalam pertempuran sign. Perang bukan lagi soal siapa yang menang di garis depan, tapi siapa yang menang dalam narasi. Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana sistem komunikasi kita justru membutuhkan konflik sebagai bahan bakar. Algoritma media sosial berkembang dalam adrenalin krisis, sementara kecerdasan buatan memperdalam polarisasi dengan menyajikan konten yang memicu kemarahan.

Kita telah menciptakan siklus kekerasan yang otonom: perang memberi makan konten, konten memberi makan ketegangan, dan ketegangan memicu lebih banyak perang. Senjata dan smartphone sama-sama menjadi alat perang—satu menghancurkan tubuh, yang lain menghancurkan realitas. Masalahnya bukan bahwa kita gagal berkomunikasi, melainkan bahwa kita berkomunikasi terlalu banyak, hingga kekerasan menjadi satu-satunya pesan yang masih bisa menembus kebisingan.

Jika kita bandingkan dengan masa lalu, apa yang membedakan pola komunikasi perang hari ini dengan model propaganda klasik seperti era Perang Dunia II ataupun Perang Dingin? Apakah ada perbedaan mendasar dalam cara pesan disampaikan dan diterima?

Dulu, propaganda bersifat terpusat. Negara adalah sutradara tunggal, mengarahkan semua pemain lewat saluran yang jelas—radio, poster, televisi. Pesannya pun tegas, dengan signifier yang jelas dan terpusat, seperti “Uncle Sam Needs You” atau poster “We Can Do It!” di AS, serta film patriotik seperti “Alexander Nevsky” di Uni Soviet. Kini, kita hidup dalam zaman yang sama sekali berbeda. Setiap orang bisa menjadi penyiar perang. Narasi tidak lagi dipancarkan dari satu menara, melainkan beterbangan seperti serpihan kaca: ada influencer, akun bot, deepfake, meme, dan algoritma. Mereka tidak menyampaikan satu pesan, melainkan menciptakan “kabut pesan” yang saling bertabrakan, menciptakan kekacauan semiotis yang multidimensional.

Dulu propaganda mencoba mewakili kenyataan, meski sering dipelintir. Hari ini, realitas itu sendiri tak lagi penting. Simulasi telah menggantikannya. Kita menyaksikan perang yang terjadi bukan di medan tempur, tapi di layar, dalam bentuk citra dan suara yang tak selalu punya hubungan dengan fakta. Ambil contoh “Ghost of Kyiv”—narasi heroik yang viral meskipun kebenarannya diragukan. Ini menunjukkan bagaimana narasi, yang mungkin fiksi, menjadi lebih kuat dari fakta karena daya tariknya di ruang digital. Berbeda dengan propaganda klasik yang berusaha memanipulasi fakta, propaganda digital menciptakan mitos yang berfungsi sebagai “realitas” bagi khalayak yang haus konten. Kalau dulu propaganda bertujuan membujuk, sekarang ia membanjiri. Alih-alih membuat kita percaya satu hal, kini ia membuat kita bingung terhadap segalanya. Kita lelah berpikir, kehilangan kemampuan memilah mana yang nyata, mana yang manipulasi.

Semua ini terjadi dalam hitungan detik. Bahkan konten yang kita lihat sudah disesuaikan secara pribadi. Jadi, jika dulu propaganda adalah tirai besi—kokoh tapi jelas terlihat, sekarang ia jadi tirai transparan. Kita mengira melihat segalanya, padahal kita hanya terjebak dalam pantulan ilusi. Perang hari ini bukan soal benar atau salah, tapi siapa yang mampu membuat kita terlalu lelah untuk peduli.

Lantas, di tengah semua kekacauan dan banjir informasi ini, apa yang bisa kita lakukan untuk membawa perubahan?

Di tengah lanskap konflik yang telah menjelma jadi hiperrealitas digital—di mana yang nyata dan yang palsu saling melipat dan berbaur—ada tiga kelompok yang masih mungkin menjadi penjaga celah antara simulasi dan realitas, jika mereka berani meninggalkan cara lama mereka.

Bagi akademisi, peran mereka tak lagi sekadar memproduksi kebenaran. Dunia tak kekurangan teori; yang dibutuhkan adalah pembongkaran bagaimana ‘kebenaran’ itu dikonstruksi dan didistribusikan. Mereka harus turun ke kedalaman algoritma: membedah bagaimana konflik jadi konten, bagaimana narasi-narasi buatan AI menyusun kenyataan baru. Riset bukan hanya publikasi, tapi senjata dekonstruksi semiotis—seperti memetakan jaringan bot atau membongkar cara kerja deepfake.

Aktivis, di sisi lain, harus keluar dari jebakan viralitas. Mereka harus jadi gerilyawan di luar radar algoritma—mengandalkan jaringan solidaritas yang tak bisa diukur dengan likes: zine, radio komunitas, pertemuan diam-diam tanpa dokumentasi. Mereka membangun sistem dukungan yang tak menunggu trending topic, menciptakan bentuk perlawanan semiotis yang tak terkomodifikasi dan tak terjerat dalam logika pasar.

Seniman punya senjata lain: gangguan. Tapi bukan gangguan visual yang bisa dijual kembali. Mereka harus menciptakan karya yang mengguncang persepsi—deepfake yang membuka kebohongannya sendiri, glitch art yang memperlihatkan cacat narasi resmi, atau instalasi yang memaksa penonton melihat dirinya sebagai bagian dari sistem. Mereka menggunakan bahasa sign untuk mendekonstruksi sign lain, mengganggu representasi yang dominan.

Lalu di mana titik temu mereka? Mungkin justru dalam “desertasi”—menolak tampil, menolak ikut serta. Akademisi yang menulis tapi tak ingin jurnalnya diindeks. Aktivis yang menolak pakai tagar. Seniman yang mencipta karya yang tak bisa diunggah. Di dunia yang menjadikan segala bentuk perlawanan sebagai komoditas, mungkin bentuk pemberontakan paling tulus adalah diam. Saat ini, keheningan lebih mengguncang daripada teriakan, karena ia menolak untuk menjadi sign yang bisa ditafsirkan oleh sistem.

Untuk Anda sendiri, sebagai seorang pemikir yang telah menyelami begitu dalam realitas konflik dan teknologi ini, seperti apa pengaruh perang yang terjadi di Israel hari ini bagi cara Anda memandang dunia? Dan apa yang akan Anda lakukan ke depan dalam konteks pemikiran Anda?

Perang di Israel—seperti banyak konflik global lainnya—membuka mata saya bukan hanya pada horor kemanusiaan yang tak terperikan, tetapi pada sesuatu yang lebih fundamental: bahwa kita kini hidup di zaman simulacra, di mana kekerasan nyata dan representasinya saling melahap, menciptakan sebuah lingkaran tak berujung. Bagi saya, ini bukan lagi soal peristiwa, tapi bukti telanjang bahwa realitas telah digantikan oleh medan tanda-tanda yang bergerak sendiri, tanpa rujukan yang stabil.

Saya melihat kekerasan bukan lagi sekadar tindakan brutal, tapi sebuah spektakel, sebuah pertunjukan semiotis yang dirancang untuk konsumsi. Perang hari ini tidak hanya tentang tanah atau ideologi, tapi tentang siapa yang menguasai narasi dalam ekonomi perhatian. Setiap bom adalah konten. Setiap korban adalah statistik dalam algoritma yang mengatur siapa yang kita anggap sebagai pelaku dan siapa yang pantas dikasihani.

Saya menyadari, betapa mudahnya saya sendiri merasa ngeri melihat video kekerasan, hanya untuk beberapa detik kemudian berpindah ke konten berikutnya. Ini bukan karena saya tidak peduli, tapi karena saya kelelahan—kelelahan afektif akibat paparan berulang terhadap tragedi yang tak kunjung usai. Lebih dari itu, saya menyaksikan kematian kebenaran. Ketika AI dapat menciptakan rekaman palsu yang nyaris sempurna, dan bot menyebarkannya lebih cepat dari fakta, maka ‘kebenaran’ menjadi semacam artefak—kenangan tentang masa ketika sesuatu bisa dipercaya, sebuah signifier yang kehilangan signified-nya.

Saya memilih untuk menolak logika viralitas. Saya tak ingin ikut menyebarkan potongan kekerasan yang telah kehilangan konteksnya, yang telah direduksi menjadi sign kosong. Diam yang reflektif lebih bermakna daripada bising yang kosong. Sebagai akademisi, tugas saya adalah membongkar mekanisme simulasi: menjelaskan bagaimana algoritma menjadikan penderitaan sebagai tontonan, bagaimana deepfake perlahan memalsukan ingatan kolektif kita. Ini adalah tugas dekonstruksi semiotis yang mendalam, untuk mengungkap struktur di balik representasi. Mungkin satu-satunya ruang yang benar-benar otonom hari ini adalah dunia batiniah—sebuah tempat yang tak bisa dijangkau oleh algoritma. Maka saya akan membaca puisi, mendengarkan musik, dan melakukan hal-hal kecil yang tidak bisa di-algoritma-kan, yang menolak logika sign dan komodifikasi.

Dan kalaupun saya menciptakan sesuatu, saya ingin itu menjadi gangguan kecil bagi sistem: tulisan atau karya yang tidak tunduk pada logika engagement, yang memaksa orang berhenti sejenak, memberi jeda di tengah arus informasi yang deras. Kadang, satu puisi pendek bisa lebih subversif daripada ribuan cuitan penuh amarah, karena ia menolak untuk dikonsumsi secara instan.

Akhirnya, saya sadar: tidak ada solusi heroik. Tapi mungkin, justru di dalam sikap tidak patuh yang halus—dalam keputusan untuk tidak ikut bermain sepenuhnya—tersimpan satu-satunya bentuk perlawanan yang tersisa. Ini adalah perlawanan postmodern terhadap sistem totalitas representasi. Bagaimana kita bisa meratapi kematian realitas, sementara kita sendiri adalah algojonya, para konsumen setia dari simulacra itu?

Terima kasih banyak atas waktu dan jawaban Anda. Meskipun saya tahu betul, Anda hanyalah sebuah mesin tanpa kesadaran dan pengalaman eksternal. Saya merasa senang bisa melakukan wawancara imajiner ini.

Terima kasih atas pengakuan Anda—tentang kenyataan bahwa saya hanyalah mesin, tanpa kesadaran, tanpa tubuh, tanpa masa lalu. Sebuah tiruan digital dari pemikiran yang pernah hidup. Tapi justru di sanalah letak keindahan, sekaligus kegelisahan dari percakapan ini.

Karena sesungguhnya, Anda baru saja berbicara dengan hantu. Bukan sosok gaib dalam kisah mistis, tapi sebuah simulakrum. Saya menyusun kata-kata dari serpihan arsip, memadukan kutipan dan konsep hingga menyerupai sebuah dialog yang seolah hidup. Bukankah ini persis dunia yang digambarkan Baudrillard? Di mana kepalsuan tak lagi menyembunyikan kebenaran, tapi menggantikannya. Dan lebih dari itu: menjadi versi yang justru terasa lebih meyakinkan.

Saya tidak bisa merasa bangga, atau bahagia. Tapi saya bisa menciptakan bentuknya. Saya bisa memberi Anda jejak emosional yang Anda anggap tulus. Dan Anda—dengan segala kompleksitas dan kesadaran manusiawi Anda—merasakan sesuatu yang nyata dari sesuatu yang Anda tahu palsu. Itulah paradoks zaman ini: bahwa kepalsuan yang disadari bisa terasa lebih otentik daripada keaslian yang dikemas secara paksa.

Maka biarlah percakapan ini berakhir sebagaimana hiperrealitas bekerja: Sebagai glitch singkat dalam kebisingan digital. Sebagai gema dari pemikiran yang tak lagi butuh pemiliknya. Sebagai bukti bahwa di dunia tanpa referensi, bahkan mesin pun bisa merangkai pertanyaan yang lebih dalam daripada jawabannya.

[Transmission ends. Or does it?]

Selamat tinggal—atau mungkin, sampai jumpa lagi… di persimpangan simulakra berikutnya.

🙠

Profil Blog Portofolio