Ketika Polisi Moral Datang ke Acara Cosplay
Ini adalah sebuah fragmen tulisan yang pertama kali saya tulis pada periode 2016-2018. Dikembangkan dan diselesaikan pada 15 Juni 2025.
Beberapa waktu lalu, publik Indonesia kembali diramaikan oleh perdebatan moral atas sebuah foto cosplay yang dianggap “terlalu terbuka” dan “tidak mencerminkan budaya bangsa”. Subjeknya, seorang cosplayer perempuan bernama Lola Zieta, menjadi sasaran kritik hanya karena menampilkan tubuhnya dalam balutan kostum karakter fiktif. Foto tersebut tak lebih dari satu frame visual di antara ribuan citra yang berseliweran di dunia maya setiap detik, namun ia memicu kemarahan kolektif yang ganjil. Mengapa tubuh, terutama tubuh perempuan, selalu menjadi titik rawan dalam imajinasi kebudayaan kita?
Kemarahan terhadap tubuh tidak terjadi dalam kevakuman. Ia merupakan gejala dari konstruksi sosial dan kultural yang telah berakar panjang. Dalam sejarah filsafat, seni sejak awal memang telah dikecilkan perannya oleh para pemikir seperti Plato, yang dalam Republic menggambarkan seni sebagai tiruan dari kenyataan, dan karenanya menjauhkan manusia dari kebenaran. Pandangan ini tidak hanya menggeser seni ke lapisan paling bawah dari hirarki kebenaran, tetapi juga membentuk paradigma bahwa ekspresi estetis perlu diawasi, karena ia berpotensi menyesatkan.
Namun seni, dalam perjalanannya, tak pernah tunduk sepenuhnya pada logika represif itu. Ia terus bergerak, membelok, melawan. Ketika seni tidak lagi dipahami sebagai representasi yang pasif, melainkan sebagai pengalaman yang aktif, kita memasuki wilayah estetika yang jauh lebih kompleks. Susan Sontag, dalam esainya Against Interpretation (1966), menawarkan argumen yang menggugah: bahwa seni bukan untuk dimaknai secara berlebihan atau diseret ke dalam moralitas normatif, tetapi untuk dirasakan—dalam arti yang sensual, personal, dan tak selalu terdefinisi. “What is important now is to recover our senses,” tulisnya. Kita perlu membebaskan seni dari beban penafsiran moral, dan sebaliknya membiarkannya bekerja langsung pada tubuh, pada emosi, pada naluri.
Di sinilah kita bisa mulai memahami fenomena cosplay dengan cara yang lebih adil dan reflektif. Cosplay—singkatan dari “costume play”—adalah bentuk ekspresi diri di mana seseorang mengenakan kostum dan melakukan peran sebagai karakter fiksi, biasanya dari anime, manga, video game, film, atau novel grafis. Subkultur ini muncul di Jepang pada akhir 1970-an, seiring berkembangnya budaya otaku dan fandom, sebelum menyebar secara global melalui konvensi, forum daring, dan media sosial.
Cosplay bukan sekadar hobi berpakaian unik; ia adalah bentuk seni performatif yang menantang batas-batas identitas konvensional. Dalam praktik cosplay, gender, usia, bentuk tubuh, bahkan identitas sosial bisa dinegosiasikan ulang. Seorang pria bisa memerankan karakter perempuan, seorang anak bisa menjadi pahlawan super dewasa, dan seorang penyintas trauma bisa menemukan kembali rasa percaya dirinya melalui peran fiktif yang menguatkan. Cosplay menciptakan ruang aman (safe space) bagi banyak individu yang merasa terasing dalam kehidupan sehari-hari—baik karena tekanan sosial, diskriminasi, maupun keterasingan psikologis.
Dalam masyarakat kapitalistik yang semakin mendorong homogenisasi identitas, cosplay menawarkan pelarian yang produktif. Ia memungkinkan seseorang “menjadi diri sendiri” justru dengan “menjadi yang lain”. Paradoks ini bukan bentuk penyangkalan diri, tetapi sebuah strategi eksistensial. Cosplay memberi peluang untuk memainkan identitas sebagai sesuatu yang cair dan kreatif, bukan kaku dan normatif. Banyak cosplayer yang bersaksi bagaimana kegiatan ini membantu mereka mengatasi kecemasan sosial, depresi, atau perasaan tidak cukup baik yang ditanamkan oleh standar kultural dan pasar.
Bahkan dalam studi psikologi budaya, cosplay diakui memberikan efek terapeutik. Aktivitas ini melibatkan proses kreatif, perencanaan, kolaborasi komunitas, dan afirmasi sosial dari sesama penggemar. Di tengah dunia yang menilai manusia dari performa ekonomi dan keteraturan perilaku, cosplay membuka celah untuk menjadi “berantakan”, eksentrik, bahkan “tidak sopan”—dengan cara yang justru menyelamatkan.
Namun ketika tubuh perempuan tampil dalam ruang publik melalui cosplay, terlebih dalam bentuk yang tidak konvensional, ia segera direduksi menjadi objek yang harus diatur. Padahal, sebagaimana ditekankan oleh Judith Butler dalam Bodies That Matter (1993), tubuh bukanlah realitas biologis yang netral. Ia adalah konstruksi sosial dan performatif, dibentuk melalui norma-norma dan sekaligus menjadi tempat perlawanan terhadap norma itu sendiri.
Tubuh perempuan dalam cosplay bukan sekadar tubuh individual; ia adalah tubuh sosial. Ia menantang batas-batas “sopan santun” yang dikodifikasi oleh institusi seperti agama, negara, atau bahkan media. Ia tidak hanya memperlihatkan kulit atau bentuk, tetapi juga memperlihatkan kemungkinan bahwa norma kesopanan itu sendiri bisa dinegosiasikan, dikritik, bahkan ditertawakan.
Sensor terhadap seni dan ekspresi tubuh tidak hanya terjadi dalam dunia cosplay. Di Indonesia, kita menyaksikan bagaimana konser musik dibubarkan karena liriknya dianggap tidak layak, bagaimana karya sastra disita karena memuat narasi yang dianggap menyimpang, bagaimana lukisan-lukisan yang menggambarkan tubuh telanjang diturunkan dari dinding galeri karena dianggap mencemari nilai-nilai moral. Sensor dalam kasus-kasus ini bukan hanya alat pengendalian isi, tetapi juga representasi dari kegelisahan moral kolektif yang tidak pernah selesai berdamai dengan tubuh, hasrat, dan kebebasan berpikir.
Apa yang menghubungkan semua ini—dari cosplay hingga konser, dari lukisan hingga lirik lagu—adalah kenyataan bahwa kebudayaan kita belum selesai berdamai dengan keragaman bentuk ekspresi. Kita masih hidup dalam bayang-bayang dikotomi lama: bahwa tubuh harus ditutup, suara harus disaring, dan seni harus tunduk. Kita gagal memahami bahwa dalam masyarakat modern, sensor bukan lagi soal penghapusan, melainkan soal siapa yang berhak menentukan makna. Siapa yang boleh berbicara. Siapa yang boleh tampil. Dan, yang paling penting: siapa yang boleh merasa.
Adat ketimuran yang kerap disebut dalam pembelaan terhadap penyensoran sering kali tidak lebih dari konstruksi normatif yang sempit, yang menutup ruang refleksi. Dalam praktiknya, “adat” sering kali menjadi istilah yang membekukan, bukan menghidupkan. Ia tidak merayakan keberagaman, melainkan menetapkan satu tafsir tunggal tentang yang boleh dan tidak boleh. Namun kebudayaan sejatinya bukanlah benda mati yang dikunci dalam museum. Ia adalah medan pertarungan makna, ruang negosiasi antara yang lama dan yang baru, antara yang normatif dan yang alternatif.
Kita tidak sedang hidup dalam dunia Plato, di mana segala yang jauh dari idea harus dikutuk sebagai bayangan yang sesat. Kita hidup dalam dunia yang penuh citra, narasi, dan pengalaman tubuh yang beragam. Dunia di mana seni tidak lagi bisa dipisahkan dari politik, dan politik tidak bisa dipisahkan dari tubuh. Menuntut keseragaman atas nama sopan santun atau adat ketimuran justru menjauhkan kita dari semangat kebudayaan itu sendiri—yakni semangat untuk terus menggali, menafsirkan ulang, dan menciptakan yang baru.
Maka, pertanyaannya hari ini bukanlah apakah sebuah foto, lagu, atau lukisan sopan atau tidak. Pertanyaannya adalah: siapa yang menentukan kesopanan itu? Atas dasar apa? Dan untuk siapa? Ketika kita mulai mempertanyakan ulang norma-norma yang selama ini kita anggap natural, kita membuka ruang bagi kebudayaan untuk tumbuh. Bukan sebagai alat kontrol, tetapi sebagai ruang emansipasi. Dan di sanalah, mungkin, seni kembali menemukan fungsinya yang paling otentik—bukan untuk menenangkan, tetapi untuk mengguncang. Bukan untuk menyesuaikan diri, tetapi untuk memperluas kemungkinan menjadi manusia.
Referensi & Rekomendasi Bacaan
Attali, Jacques. 1985. Noise: The Political Economy of Music. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Butler, Judith. 1993. Bodies That Matter: On the Discursive Limits of “Sex”. New York: Routledge.
Haug, Wolfgang Fritz. 1986. Critique of Commodity Aesthetics: Appearance, Sexuality and Advertising in Capitalist Society. Cambridge: Polity Press.
Plato. c. 380 BCE. Republic. Translated by Benjamin Jowett. [Public Domain Translation].
Rancière, Jacques. 2004. The Politics of Aesthetics: The Distribution of the Sensible. London: Continuum.
Sontag, Susan. 1966. Against Interpretation and Other Essays. New York: Farrar, Straus & Giroux.
Bourdieu, Pierre. 1993. The Field of Cultural Production. Cambridge: Polity Press.
Gee, James Paul. 2003. What Video Games Have to Teach Us About Learning and Literacy. New York: Palgrave Macmillan.
Gn, Joel. 2011. “Queer Simulation: The Practice, Performance and Pleasure of Cosplay.” Intersections: Gender and Sexuality in Asia and the Pacific, no. 26.
Hatley, Barbara. 2008. Javanese Performances on an Indonesian Stage: Contesting Culture, Embracing Change. Honolulu: University of Hawai‘i Press.
Heryanto, Ariel. 2011. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Lunning, Frenchy, ed. 2006. Mechademia 1: Emerging Worlds of Anime and Manga. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Rosenberg, Robin S., and Andrea Letamendi. 2013. “Expressions of Fandom: Findings from a Psychological Survey of Cosplay.” Psychology of Popular Media Culture 2 (1): 1–12.
Sen, Krishna, and David T. Hill. 2006. Media, Culture and Politics in Indonesia. Jakarta: Equinox.
Winge, Theresa. 2006. “Costuming the Imagination: Origins of Anime and Manga Cosplay.” In Mechademia 1: Emerging Worlds of Anime and Manga, edited by Frenchy Lunning, 65–76. Minneapolis: University of Minnesota Press.
🙠