Tentang Bapak yang Mengasah Pisau untuk Kematiannya Sendiri

29 Juni 1965 adalah sebuah momen yang memilukan buat Koes Bersaudara. Kelompok musik pop yang sedang naik daun itu dipenjara. Alasannya? Karena menyanyikan lagu-lagu Elvis Presley dan The Beatles. Hari ini, alasan seperti itu mungkin terdengar cukup sepele. Tapi berpuluh-puluh tahun lalu, musik – atau kebudayaan dalam arti yang lebih luas – adalah hal yang sangat serius. Sangat serius malah, sehingga dianggap mampu mengancam stabilitas suatu negara.

Hikmat Budiman, dalam Lubang Hitam Kebudayaan (2002), memang mencatat kehancuran Orde Baru, yang menurutnya disebabkan oleh pertumbuhan semu ekonomi, depolitisasi, modal utang internasional, pasar, teknologi, media massa, konsumsi, korupsi, dan praktek-praktek kebudayaan yang kotor (2002:15). Namun, dalam skala yang lebih kecil, ia nampak absen dalam melihat perubahan kebudayaan – khususnya budaya populer – yang berkembang pasca Orde Lama.

Budiman memang mengakui kegagalan desain besar Orde Baru. Tentang proyeksi anak-anak muda yang didesain untuk menjadi “anak pemerintah” yang patuh melalui penghapusan hak-hak politik (2002:17). Dalam beberapa bagian, ia juga menyebut fenomena kejatuhan Soeharto sebagai terulangnya kisah Malinkundang – yang ia akui, dipinjamnya dari sebuah tulisan Goenawan Mohammad – tapi ia absen ketika ditanya mengenai latar belakang kultural yang ada. Gap yang demikian jelas terlihat antara demonstran Orde Lama dengan demonstran ‘98 menjadi semacam misteri yang menghantui saya sebagai pembaca. Misteri ini lebih sebagai semacam ekspektasi, kebaruan apa yang mampu dihadirkan Budiman sebagai penulis?

Sebagai pembaca, saya agak miris ketika Budiman sama sekali tidak menyindir kebijakan ekstrem Soekarno ketika melarang musik Barat yang dianggapnya sebagai musik ngak-ngek-ngok. Pemenjaraan Koes Bersaudara sebagai seorang seniman – bukan sebagai aktivis pergerakan politik – yang sempat disinggung di atas, buat saya menjadi cukup penting untuk dibahas lebih lanjut. Dengan membaca prolog seperti itu, yang meskipun terlalu jauh ke belakang, kita akan sedikit banyak menjembatani misteri atau gap yang disinggung Budiman.

Seperti misalnya, kenapa demonstran ‘98 hadir tidak hanya sebagai mahasiswa-mahasiswa radikal, melainkan juga sebagai artis-artis sinetron yang cantik. Bukan hanya aktivis kritis yang dandanannya mirip kaum hippies, tapi juga anak-anak muda bergaya yuppies, tampil serba chic, necis, dan klimis (2002:18). Kita dapat menjawabnya dengan membandingkan dua kebijakan yang dijalankan oleh Soekarno pada Orde Lama dan Soeharto pada Orde Baru. Soekarno, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, benar-benar menutup akses budaya Barat. Radio Republik Indonesia (RRI) pada saat itu benar-benar diarahkan untuk menyiarkan musik asli Indonesia. Budaya dansa yang kebarat-baratan diubah dengan mengeksplor Tari Lenso dari Maluku, sehingga anak muda pada saat itu melakukan subtitusi kebudayaan dengan cukup mudah – walau agak dipaksakan.

Ini akan sangat berbeda dengan kebijakan Soeharto, yang sudah kita tahu, dengan membuka keran investasi asing sebesar-besarnya. Agak naif kalau kita tidak mengakui bahwa kebijakan itu tidak berimbas apa-apa terhadap perilaku budaya anak bangsa. Kita dapat lihat sendiri, sesaat setelah RRI menyiarkan musik Barat, booming musik rock pun terjadi. Anak-anak muda berebut untuk memainkan band-band populer dari Barat seperti The Beatles. Achmad Albar dengan bandnya, God Bless, dapat dengan bangga memainkan musik-musik gubahan Deep Purple dan Genesis. Imbasnya, perkembangan musik karya seniman sendiri menjadi demikian terpuruk. Sampai Prambors Radio, di medio ‘70-an, menginisiasi Festival Lagu Populer Indonesia. Tujuannya sederhana, melahirkan dan mempopulerkan kembali musik-musik karya seniman tanah air.

Mereka seperti bergerak menembus masuk ke dalam sebuah dunia tempat ketegangan dan kegembiraan, ketabahan menghadapi ancaman maut dan hedonisme melebur membentuk satu heroisme baru sebagai sebuah fashion. (19)

Sampai beberapa bulan sebelum Soeharto berhasil digulingkan, cafe, MTV, Madonna (konsumsi, hiburan, dan seks) adalah simbol-simbol kultural yang dianggap identik dengan kelompok kaum muda perkotaan di Indonesia, terutama dalam hubungan kontrasnya dengan sikap terhadap politik, ketaatan pada etika, kekukuhan moral, dan kepedulian kepada nasib rakyat sebagai kategori-kategori normatif… Problem tersebut biasanya dilihat sebagai bagian dari krisis besar yang berlangsung di seluruh dunia yang terutama diakibatkan oleh hegemoni kapitalisme. (21)

Sebagian terbesar dari mereka adalah para pendukung apa yang di Amerika biasa disebut sebagai youth culture, sebuah subkultur yang sering mengundang kecemasan sekaligus dituding sebagai penyebab kemerosotan peradaban Barat oleh kelompok-kelompok konservatif dalam masyrakat borjuis. (27)

Secara sosial mereka dibesarkan dalam sebuah mileu tempat radio dan TV menjadi pengasuh bahkan guru pertama. … Secara politis mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dari orang tua korban depolitisasi massa Orde Baru dengan konsep floating-mass. … Secara ideologis, sumber legitimasi tindakan mereka tidak lagi berasal dari keyakinan yang beku seperti ideologi atau agama, melainkan dari citra-citra audiovisual yang begitu cair. (29)

Demonstrasi mahasiswa jadi benar-benar mirip tayangan video musik MTV, mengalir deras tak putus-putus selama 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, penuh sentakan. Gerakannya tampak tidak teratur, tidak utuh dan solid, terpecah-pecah dan tidak terfokus, cair dan tumpang-tindih, tapi benar-benar sangat masif, pervasif, tidak bisa dilumpuhkan. Aksi mereka berlangsung dalam dua realitas sekaligus, yakni realitas real kehidupan sehari-hari, dan dunia hiperrealitas yang tercipta melalui implosi, citra, pesan, dan media. (30)

Amerika Serikat yang pada periode ‘60-an diterpa gelombang protes anak muda yang populer dengan sebutan flower generation, terpaksa mengamini permintaan publik dengan menarik mundur pasukannya dalam perang Vietnam. Generasi Bunga di Amerika ini, kemudian, menjadi semacam simbol, inspirasi, serta semangat bagi anak-anak muda lainnya di penjuru belahan dunia lain di dunia. Termasuk di Indonesia.

🙠

Profil Blog Portofolio