Internet Meme dan Mitos Keaslian

“Tidak ada yang benar-benar baru di bawah matahari,” adalah terjemahan harfiah dari judul di atas. Diambil dari Kitab Perjanjian Lama, pribahasa kuno tersebut buat saya cukup menggambarkan dilematika perbincangan isu plagiarisme dalam dunia kreatif dan juga dunia pendidikan. Kreatif, menurut Cambridge Dictionary, berarti memproduksi gagasan asli yang tidak biasa. Sementara Oxford Dictionaries, mendefinisikan kreatif sebagai kata kerja yang bermakna sebuah usaha yang melibatkan imajinasi atau gagasan asli untuk menciptakan sesuatu.

Satu kata kunci yang kita temukan dari dua definisi di atas ada pada seberapa asli gagasan kita dibandingkan yang lain. Kalau kita menyepakati kutipan Perjanjian Lama di atas, tentunya hal ini menjadi sangat membingungkan. Bagaimana mungkin melahirkan sesuatu yang benar-benar baru di dunia ini? Samuel Langhorne Clemens, atau yang lebih dikenal dengan nama pena Mark Twain – sastrawan besar Amerika Serikat penulis The Adventure of Tom Sawyer – pernah menulis sebuah surat kepada Hellen Keller. Dalam suratnya, Mark Twain menjelaskan betapa konyol dan lucunya gagasan plagiarisme tersebut. Menurutnya sebuah ide tidak benar-benar lahir dari ruang hampa, tidak ada creatio ex nihilo, sebab sebuah ide mesti lahir dari banyak ide-ide lain di luar sana (Clemens, 2012). “All ideas are second-hand,” katanya.

Mencari sebuah ide atau karya yang benar-benar baru, atau dalam pengertian yang lebih luas, tingkat keaslian suatu karya menjadi sesuatu yang hampir mustahil kita temukan. Para seniman paham betul akan persoalan ini. Maka tidak heran, ketika Steve Jobs mengutip Picasso dan menyebutkan bahwa “Good artist copy; Great artist steal.” Ia sendiri sadar akan problematika dan dilematika plagiarisme itu sendiri ketika dihadapkan pada seuatu proses kreatif yang mampu menghasilkan suatu karya agung. Apakah makna copy dan steal menjadi sepadan dengan tindak plagiarisme itu sendiri? Belum tentu.

Proses penyalinan (copy) dan pencurian (steal) sebuah karya tentunya jauh lebih rumit ketimbang proses salin-tempel (copy-paste) – yang pada bagian lain akan saya uraikan lebih lanjut. Dalam sebuah proses kreatif, penyalinan dan pencurian karya lain menjadi sebuah titik dimana karya baru dapat lahir. Karya baru dalam hal ini tidak merujuk pada kebaruan mutlak apalagi sebuah karya yang benar-benar berbeda dari sebelumnya. Karya baru merujuk pada perkawinan, campur aduk, dan racikan berbagai karya sebelumnya sehingga menghasilkan sebuah karya lain dengan bentuk dan konsep yang berbeda.

Pada akhir 1970-an, ketika Steve Jobs mengunjungi fasilitas riset milik Xerox – sebuah perusahaan teknologi yang cukup besar pada waktu itu – ia berkesempatan untuk melihat demonstrasi penggunaan mouse atau tetikus. Hal ini adalah terobosan besar dalam dunia teknologi pada saat itu, sebab ada banyak hal yang bisa dilakukan dengan komputer berbasis graphic-user interface. Persoalannya, Xerox tidak mampu memproduksi tetikus ini karena mahalnya ongkos produksi. Steve Jobs pulang ke kantornya dengan membawa ide baru. Membuat tetikus dengan fitur yang lebih baik dan harga yang lebih murah sehingga penemuan besar ini dapat dirasakan oleh masyarakat luas pengguna Mac sebagai konsumen. Hasilnya? Apple mampu menjual tetikus dengan bentuk dan fungsi yang hampir serupa dengan harga yang jauh lebih murah. Hanya 15 USD, sementara Xerox membutuhkan lebih dari 300 USD untuk memproduksi satu buah tetikus.

Apakah Steve Jobs melakukan plagiarisme? Ya, kalau kita menggunakan kamus besar Oxford dan Cambridge sebagai acuan definitifnya. Tapi dalam skala yang lebih praktis, Steve Jobs adalah seniman besar yang mampu mencuri gagasan dari Xerox yang mengubahnya menjadi gagasan lain yang jauh lebih baik.

Di internet, meme sebagai sebuah subkultur tersendiri sedikit banyak berbagi tradisi Silicon Valley semacam ini. Akan sangat sulit sekali untuk menemukan tingkat keaslian sebuah meme. Sebab ia terlahir dari proses kreatif yang luar biasa kompleks. Peristiwa saling curi antar kreator meme adalah hal yang wajar. Memahami meme baik sebagai sebuah subkultur ataupun sebagai artifak kebudayaan menjadi cukup penting, mengingat semakin meningkatnya popularitas meme terlebih di ranah maya (Börzsei, 2013).

Internet Meme, menurut Patrick Davison dalam esainya yang berjudul “The Language of Internet Memes”, adalah produk budaya yang biasanya berbentuk lelucon yang disebarkan melalui media online (2009). Tersedia dalam berbagai format, mulai dari animasi atau bahkan video, Meme umumnya disajikan dalam bentuk gambar yang sederhana – karena memang meme tidak menekankan keindahan sebuah gambar, tapi lebih kepada pesan yang tersirat di dalamnya (Börzsei, 2013). Terlepas dari perannya sebagai pemancing tawa, meme juga mulai berkembang sebagai model komunikasi baru di internet.

Saya yang cukup banyak menghabiskan waktu di internet dapat dikatakan cukup intens bersinggungan dengan meme. Baik di sosial media ataupun aplikasi obrolan seperti Line, Whatsapp, ataupun Telegram. Cukup banyak juga kawan saya yang mendedikasikan waktu dan tenaganya sebagai seorang kreator meme. Hal ini tidaklah mengagetkan, kalau generasi di awal perkembangan internet tumbuh dengan emoticon, maka kami – generasi milenial – tumbuh dengan meme.

Sebagai bagian dari iklim kreatif di internet, sekali lagi, tingkat keaslian sebuah meme akan sangat sulit untuk diukur. Plagiarisme yang terjadi menjadi sangat kabur. Memang, kita perlu mengakui bahwa beberapa pekerjaan profesional seperti penulis juga peneliti menitik beratkan nilai keaslian suatu karya (Fish, 2010). Tapi untuk bidang kreatif, akan sangat sulit untuk membicarakan keaslian.

Di internet, topik mengenai keaslian menjadi semacam mitos. Sebab setiap orang mencoba untuk memberikan pengaruhnya pada orang lain. Ide satu sama lain saling bertemu dan menghasilkan ide lain. Dalam dunia kreatif apapun di internet, mulai dari meme, video games, hiburan, bahkan yang lebih kompleks seperti Free/Open Source Software Movement.

Kembali pada idiom “Good artist copy; Great artist steal.” Sebagai sebuah ruang publik, hampir seluruh pengguna internet menyadari bahwa apa yang mereka salurkan atau bagikan di ruang tersebut telah menjadi milik publik. Jadi, ketika sebuah karya dicuri dan dimodifikasi, hampir tidak ada yang merasa keberatan. Sebab ketika sebuah karya menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya, maka dapat dipastikan bahwa si kreator awal juga akan puas. Terlebih ketika sebuah karya ini memiliki manfaat praktis untuk orang banyak.

Persoalan baru datang setelah hak cipta mengambil alih ruang maya ini. Banyak kreator kemudian berlomba-lomba memberikan paten pada karya ciptaannya. Perusahaan besar seperti Facebook dan Google datang dan menguasai internet, meluluh lantahkan kekuasaan pengguna dengan kontrak yang mengikatnya hampir seumur hidup.

Indikator plagiarisme, kemudian, berada pada seberapa besar pengakuan seorang kreator atas ide dan inspirasi yang ia terima sebelum menghasilkan sebuah karya. Yang pada akhirnya, lewat pengakuan tersebut bisa saja ia dituntut atas dasar pelanggaran hak cipta atau kekayaan intelektual. Pertimbangan manfaat untuk orang banyak menjadi hilang.

Sangat egois ketika sebuah ide atau gagasan diberi label hak cipta. Sebab satu kepala tidak jauh lebih baik dari banyak kepala. Sebuah ide bisa berkembang dengan cukup pesat jika dipikirkan bersama-sama. Kalau untuk mengembangkan sebuah ide saja, kita mesti membayar sejumlah besar uang sebagai royalty, dapat dipastikan bahwa iklim kreatif kita hanya akan berjalan atas kebutuhan ekonomis belaka. Bukannya memberi manfaat serta kepuasan orang banyak.

Sebagai seorang pelajar, plagiarisme lewat tindakan copy-paste menjadi persoalan lain. Mengerjakan tugas, sama seperti membuat meme, adalah sebuah pekerjaan kreatif. Otak diperas untuk mendapatkan ide dan gagasan yang seasli mungkin. Tapi kalau sistem pendidikan memberikan tugas yang berlebihan – yang berbanding terbalik dengan sedikitnya waktu luang yang diberikan di luar sekolah – maka tindak plagiarisme menjadi semacam solusi yang terpaksa mesti diambil.

Kutipan “Nihil sob sole novum” dapat menjadi semacam dalil untuk membenarkan tindak plagiarisme. Idiom “Good artist copy; Great artist steal” mestinya ditambah satu kalimat lagi. “Excellent student sometimes copy-paste”. Dan saya sendiri, merasa bersalah ketika terpaksa melakukan tindak plagiarisme lewat mencontek atau menyalin artikel dari wikipedia untuk tugas sekolah saya. Tapi apa semua ini benar-benar salah saya? Salah kami sebagai pelajar dengan waktu luang yang semakin singkat lewat implementasi Full-day School? Atau jangan-jangan, memang sistem pendidikannyalah yang justru memaksa dan menumbuh suburkan perilaku plagiarisme?

🙠

Profil Blog Portofolio