Eutanasia: Mati Tanpa Penderitaan
Ketika membicarakan kematian, ada banyak permasalah moral yang muncul di dalamnya. Khususnya ketika kita berbicara soal bunuh diri. Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan untuk bunuh diri antara lain muncul karena (1) Penyakit kronis, (2) dalam keadaan tersiksa, (3) berusaha melarikan diri dari penderitaan yang tak berkesudahan.
Kalau dilihat dari jenisnya, bunuh diri dapat dikategorikan ke dalam dua jenis. Pertama adalah bunuh diri yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan dan yang kedua adalah bunuh diri dengan bantuan pihak ketiga atau assited death. Tulisan ini akan memfokuskan pada jenis bunuh diri yang terakhir, khususnya dalam konteks euthanasia di dunia kedokteran.
Eutanasia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki pengertian sebagai tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan mahluk, orang ataupun hewan, yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar kemanusiaan. Menurut undang-undang, khususnya pasar 28A UUD 1945, bunuh diri dalam bentuk apapun, termasuk eutanasia, termasuk kedalam tindakan ilegal di Indonesia. Sebab, dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana juga mengatur larangan melakukan tinndak eutanasia di indonesia. Pasal 344 KUHP berbunyi:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Beberapa kasus eutanasia di Eropa
Sejak 2002, Belanda sudah melegalkan praktik eutanasia. Meskipun begitu, aturan yang berlaku tidak memfokuskan diri pada individu yang mengajukan tindakan ini. Namun, aturan ini menjamin dokter sebagai profesional yang melakukan tindakan eutanasia tersebut. Sebab, seorang dokter tidak dapat dikriminalisasi apabila pada prosesnya, pasien yang dirawat terus menerus menderita dan mempunyai tingkat kemungkinan untuk sembuh yang rendah.
Pada awal penerapannya, 90% permohonan eutanasia diajukan oleh pasien kanker. Belakangan, jumlah ini berkurang menjadi 75%. Meskipun demikian, mengamati kecenderungan meningkatnya jumlah permintaan untuk melakukan eutanasia di negara tersebut, beberapa pihak mengajukan tinjauan ulang atas regulasi tersebut.
Eutanasia di Belanda, dilegalkan atas dasar kepentingan medis. Khususnya bagi mereka yang menderita penyakit kronis yang tidak dapat melakukan pengobatan dalam jangka waktu perkiraan hidup. Pasien yang mengalami efek langsung dari penyakit yang dideritanya, seperti rasa sakit di seluruh atau bagian tubuh tertentu, ketergantungan pada orang atau hal lain – seperti alat atau obat-obatan, diperbolehkan mengajukan permohonan eutanasia kepada rumah sakit.
Persoalan Moral
Beberapa persoalan moral yang muncul kemudian adalah soal bagaimana keputusan yang diambil seorang dokter sebagai seorang profesional. Terlepas dari bagaimana pertimbangan moral yang ia ambil, apapun yang dilakukan seorang dokter seharusnya mampu dijamin oleh konstitusi. Persoalan lain, menyangkut pada bagaimana apabila kondisi seorang pasien sudah tidak dapat lagi mengambil keputusan sendiri dan keputusan sekaligus permohonan untuk melakukan tindak eutanasia dilakukan oleh pihak ketiga seperti keluarga atau kerabat terdekat.
Respon yang muncul di masyarakat atas tindakan ini pun beragam. Kalangan yang menyetujui biasanya dapat dikategorikan kedalam kelompok masyarakat yang lebih liberal. Dimana jaminan atas keputusan yang diambil oleh seorang individu, apapun itu, dapat dijamin dan dihargai oleh negara. Beberapa pendapat yang menyetujui tindakan eutanasia biasa berargumen bahwa hukum harus memperbolehkan seseorang untuk mati tanpa rasa sakit, karena hidup adalah hak yang sepenuhnya dimiliki oleh seseorang. Dengan pandangan serupa, memaksakan dan ikut campur dalam urusan ini berarti telah melangkahi kebebasan individu dan hak asasi manusia. Sementara membiarkan seseorang dalam keadaan terus menerus menderita adalah tindakan yang amoral.
Gagasan ini mengamini pendapat John Stuart Mill soal bagaimana kekuatan dan kekuasaan negara seharusnya mampu menjamin hak-hak warga sipil di dalamnya. Termasuk di dalamnya, adalah hak untuk mengambil keputusan. Sementara itu, beberapa kelompok yang menolak konsep eutanasia biasanya berangkat dari argumen keagamaan. Dimana membunuh dalam konteks apapun, dapat dimaknai sebagai sebuah dosa yang melanggar aturan agama, khususnya agama abrahamik. Biasanya, argumen ini akan dikuatkan dengan potensi penyalahgunaan kebijakan eutanasia. Seperti siapa yang akan membuat dan melakukan tindakan tersebut. Bagaimana process of dying yang dibenarkan secara medis. Dlsb.
Penutup
Pada akhirnya, tindak eutanasia merupakan sebuah problem kontemporer yang penuh dengan persoalan moral. Di Indonesia, negara menolak untuk menjamin dokter sebagai pihak ketiga, dengan dalil yang – menurut saya – tidak punya argumen filosofis. Kalau kita melihat pada Australia, dimana dengan jumlah dan tingkat pertumbuhan penduduk yang rendah, eutanasia sangat dilarang karena membahayakan keadaan negara. Atau di Jepang dengan krisis demografis penduduknya, dimana perbandingan antara jumlah penduduk usia muda dan usia tua sangat besar sekali. Kedua negara tersebut memiliki konteks yang jelas untuk melakukan pencegahan dan penolakan tindak eutanasia.
Sementara di Indonesia, pemerintah berusaha mengendalikan jumlah penduduk dengan program Keluarga Berencana yang dilakukan sejak era Orde Baru. Namun, tindak eutanasia masih dianggap ilegal dengan alasan yang tidak jelas. Persoalan ini menjadi menarik untuk ditelaah lebih lanjut, khususnya dengan pendekatan filosofis. Karena, selain untuk kepentingan akademis, dengan analisis filosofis itu tadi, diharapkan pemerintah memiliki lebih banyak argumen dalam pembentukan dan penerapan sebuah kebijakan.
🙠