Ketika Orang Jawa Belajar Hidup pada Tanaman

Satu hal yang membedakan orang biasa dengan seorang pemikir adalah bagaimana ia melihat kehidupan. Ketika orang biasa melihat tumbuhan, yang ia lihat hanyalah tumbuhan. Tapi ketika seorang pemikir melihat tumbuhan, yang ia lihat adalah berjuta pemaknaan yang menggugah kesadarannya. Orang Jawa dalam hal ini, rupanya lahir atas sebuah kultur pemikir sejati. Sebab, dalam kesehariannya orang Jawa begitu sering berguru dengan tanaman. Setidaknya itulah yang ditulis oleh Iman Budhi Santosa.

Hidup di lingkungan Jawa rupanya begitu mempengaruhi cara pandangnya terhadap segala sesuatu. Dalam buku Suta Naya Dhadhap Waru: Manusia Jawa dan Tumbuhan misalnya, sosok yang lebih dikenal sebagai seorang sastrawan ini berangkat dari sebuah pertanyaan sederhana. Kenapa orang Jawa begitu sering menggunakan nama tumbuhan sebagai nama daerah?

Dengan buku setebal 478 halaman ini, Iman menuturkan pengamatannya atas hubungan manusia dan tumbuhan. Sebagai masyarakat agraris, rupanya tanaman bagi orang Jawa tidak hanya bermanfaat untuk keberlangsungan hidupnya. Dalam buku ini dijelaskan, bahwa orang Jawa juga memaknai tanaman sebagai guru hidup. Renville Siagian, alumnus Institut Pertanian Bogor, dalam kata pengantarnya menyampaikan bahwa dalam agama Hindu, tanaman dianggap sebagai petapa sejati. Dan manusia, sesungguhnya harus dapat belajar darinya. Tanaman hidup dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Meskipun kita melihatnya seolah-olah tidak bergerak, namun sesungguhnya ia tengah memberi manfaat bagi kehidupan banyak mahluk lain.

Iman Budhi Santosa dalam buku ini menjelaskan bahwa orang Jawa, kurang lebih telah memiliki pandangan yang serupa. Orang Jawa biasa menanam kelapa. Dan ia tahu bahwa pohon kelapa adalah pohon dengan beragam manfaat. Karena baik buah, daun, sampai batangnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal. Oleh karena itu, sesungguhnya orang Jawa pun telah belajar banyak dari pohon kelapa. Bahwa dirinya sebagai manusia juga mesti bisa bermanfaat bagi banyak orang.

Orang Jawa yang punya kebiasaan menanam sembukan, kunir, dan lempuyang sebagai tanaman obat, memiliki kesadaran untuk mengobati atau memperbaiki dirinya sendiri ketika mengalami sakit. Begitu banyak hubungan yang terjalin erat antara orang Jawa dan tumbuhan. Tanaman, sekali lagi, tidak berhenti fungsinya sebagai makanan atau mata pencaharian. Ia juga berfungsi sebagai perantara manusia dan kekuatan di luar dirinya lewat berbagai sesaji.

Tidak heran apabila tanaman begitu dihormati oleh orang Jawa. Bentuk penghormatan itu sangat terlihat lewat berbagai simbol. Tengok saja dalam gunungan yang selalu hadir dalam pementasan wayang. Di antara berbagai simbol, kita dapat dengan mudah melihat pohon dewandaru sebagai latar belakang dari gunungan tersebut. Sebagai penulis, Iman Budhi Santosa nampaknya telah memberikan cukup banyak penjelasan. Berbagai latar belakang sejarah, kebahasaan, bahkan sampai pada penjelasan filosofis ia paparkan dengan panjang lebar dalam buku ini. Pada bagian lain, ia juga menjelaskan berbagai pribahasa atau unen-unen dalam bahasa Jawa yang memiliki hubungan erat dengan tumbuhan. Meskipun begitu, tampaknya penulis lebih banyak berkonsentrasi untuk mencatat berbagai jenis tumbuhan yang digunakan sebagai nama daerah di pulau Jawa.

Bagi pembaca awam, buku ini mungkin akan sangat ringan untuk dibaca. Meskipun begitu, tidak berarti bahwa buku ini sama sekali tidak berbobot. Justru, dengan bahasanya yang lugas dan sederhana, buku ini mampu memberikan penjelasan yang begitu mudah untuk dicerna oleh khalayak. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya penulis lebih dikenal sebagai seorang sastrawan. Oleh karena itu, persoalan bahasa dan cara menyampaikan pesan kepada pembaca mestinya tidak menjadi soal.

Satu hal yang perlu dicatat. Meskipun menyajikan cukup banyak informasi menarik. Bagi sebagian kalangan, khususnya peneliti, buku ini mungkin akan dianggap sambil lalu. Iman Budhi Santosa mungkin menyajikan banyak informasi soal sejarah, taksonomi, kultur teknis tanaman, persebaran tanaman, dan fungsi tanaman tersebut dalam masyarakat. Namun pada tataran yang lebih luas, ia sama sekali tidak memberikan penjelasan yang menyentuh akar penyebab kenapa nama tanaman tersebut dipilih. Orang Jawa dengan kapabilitas pemaknaannya yang luar biasa atas lingkungan tempat tinggalnya, mestinya memiliki alasan yang kuat untuk memilih satu jenis tanaman untuk dijadikan nama daerahnya. Dan keputusan terebut tentunya akan berimbas pada tradisi, kepercayaan, dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Dalam hal ini, pengamatan Imam Budhi Santosa masih luput.

Secara keseluruhan, buku ini sangat layak untuk dibaca. Lebih-lebih untuk disimpan sebagai koleksi pribadi. Ada sebuah adagium latin yang berbunyi, verba volant scripta manent. Terjemahan harfiahnya adalah “yang terucap akan berlalu oleh angin. Sementara yang tertulis akan tetap abadi”. Semoga saja karya Iman Budhi Santosa ini mampu berperan penting dalam usaha mengarsipkan khazanah pemikiran Jawa pada umumnya. Sehingga di generasi mendatang, anak cucu kita dapat memahami makna dari nama tempat ia lahir dan dibesarkan.

🙠

Profil Blog Portofolio