Sajak Cinta dan Perjuangan dari Suriah

Ayah saya pernah memberikan Sayap-Sayap yang Patah karya Kahlil Gibran. Itu adalah buku sastra pertama yang saya baca. Saya tidak tahu harus mengategorikannya kedalam sebuah karya puisi atau prosa. Yang jelas, Gibran telah memabukkan saya yang masih duduk di bangku SMP dengan kisah percintaannya yang tragis. Saat itu, kebetulan perpustakaan sekolah saya memiliki satu eksemplar Sang Nabi, salah satu karya agung Gibran. Saya meminjamnya. Tidak hanya sekali. Tapi berkali-kali sampai saya lulus dari tingkat pendidikan menengah.

Sejak saat itu, saya mengira bahwa sebuah puisi akan selalu bercerita tentang cinta, bunga-bunga yang mekar di pagi hari, dan taman yang penuh dengan buah anggur. Gibran yang besar di Timur Tengah, selalu hadir dalam bayangan saya sebagai sosok yang melankolis. Dan ketika memikirkan Lebanon, otak saya otomatis menyajikan bayangan sebuah kota tua yang cantik.

Bertahun-tahun kemudian, saya mulai sering menonton acara berita di televisi. Perang di Timur Tengah tak kunjung reda. Lebanon, Palestina, dan Suriah kini tinggal puing. Sejenak, saya membayangkan, apa jadinya bila Gibran bangkit dari kubur dan melihat kejadian ini? Apakah puisi-puisinya akan tetap berbunga-bunga?

Kini saya menemukan jawabannya. Bukan lewat Gibran. Tapi lewat Nizar Qabbani. Seorang penyair kelahiran Suriah. Seorang penyair yang juga pengelana. Menjadi diplomat di Mesir dan Turki. Lalu tinggal beberapa lama di Beirut – tempatnya menghabiskan waktu untuk menulis puisi dan mengkritik pemerintah.Sampai akhirnya menjadi buronan di negaranya sendiri dan akhirnya mengungsi ke London.

Dalam Yerusalem, Setiap Aku Menciummu, sajak-sajak Qabbani dihimpun dalam satu kerangka yang seragam. Menghubungkan antara cinta dan politik. Meskipun keduanya begitu sulit untuk dipisahkan. Sebab, secuil rasa cinta – baik untuk negerinya, orang terkasih, ataupun keluarganya – selalu terselip dalam setiap pergumulan yang ia hadapi dalam sajak-sajaknya. Ia begitu ketara dalam persoalan kesetaraan gender di kebudayaan Arab. Begitu mencolok di antara kepentingan politik minyak Timur Tengah. Dan begitu menyayat di antara reruntuhan-reruntuhan kejayaan masa lalu.

Tengoklah sebuah bait dari sajak berjudul Ketika Aku Mencintaimu, yang oleh Penerbit AKAR dimasukkan kedalam kategori sajak cinta.

Ketika aku mencintaimu
kota-kota Arab bangkit berdemonstrasi
melawan represi
dan penguasa-penguasa jahat
melawan hukum-hukum adat.

Pesan perjuangan yang disampaikan Qabbani benar-benar terasa. Bahkan pada sebuah sajak cinta sekalipun. Atau pada sebuah bait dalam sajak berjudul Surat dari Seorang Perempuan Bodoh (sebuah surat untuk kaum lelaki)

kebebasan perempuan, tuanku
hanya menjadi cerita fantastis di negeri kita
karena di sini tak pernah ada kebebasan
yang melebihi kebebasan kaum lelaki

Sebuah otokritik yang luar biasa pedas bagi kebudayaan Arab yang masih sedemikian kaku. Qabbani menyelipkannya ke dalam sebuah puisi bernada satir dari seorang perempuan kepada kaum lelaki – entah sebagai kekasih ataupun majikan. Dan penggambarannya ini seolah mematahkan pembagian sajak-sajaknya kedalam dua kategori besar tadi. Naif sekali kiranya kalau kita memisahkan sajak-sajaknya kedalam pembagian semacam ini.

Satu hal yang perlu dicatat, Irfan Zakki Ibrahim sebagai penerjemah, dalam buku ini telah melakukan pekerjaan yang cukup baik. Alih bahasa dilakukan langsung dari sumber pertama, yaitu bahasa Arab, sehingga pembaca dapat menikmati pesan yang disampaikan Qabbani seasli mungkin. Detil-detil kecil yang kemungkinan besar tidak dapat kita nikmati dengan terjemahan sumber kedua. Buku tipis setebal 96 halaman ini menjadi sangat layak untuk dibaca, lebih-lebih untuk dikoleksi.

Sebagai penutup, sebuah sajak berjudul Aku dan Terorisme rupanya menggugah pertanyaan lain dalam benak saya. Dalam sebuah bait, Qabbani menyampaikan bahwa:

Aku dukung terorisme
dengan seluruh puisiku
dengan seluruh kata-kataku
dan seluruh gigiku
jika dunia baru ini
berada dalam genggaman
para tukang jagal

Apakah Qabbani kembali menyajikan sebuah puisi satir?

Qabbani menulis puisi ini pada tahun 1997 di London. Itu berarti satu tahun sebelum ajalnya tiba. Dan beberapa waktu lalu London, tanah pengasingan tempatnya menghabiskan sisa hidupnya, dicekam oleh teror. Seolah mengamini bait barusan, kelompok yang entah berasal darimana dan didanai oleh siapa, kini berbondong-bondong menebarkan teror. Alasannya bermacam-macam. Dan sampai hari ini, di Suriah, panji-panji teror semacam ini masih berdiri kokoh di antara puing-puing tanah air Nizar Qabbani.

🙠

Profil Blog Portofolio